A. Latar Belakang Masalah
Ketidakberdayaan sistem ekonomi
kapitalis, sosialis dan berbagai jenis sistem lainnya telah
memberikan peluang bagi perkembangan ekonomi yang bernuansa syariah.
Sistem ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang mandiri, bukan
diadopsi dari ekonomi liberal, komunis, kapitalis dan sebagainya.Sistem
ekonomi syariah sebagai solusi alternatif
dalam mencari jalan keluar dari kemelut ekonomi dewasa ini
Ekonomi syariah adalah usaha atau
kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang ,kelompok orang ,badan usaha yang
berbadan hokum atau tidak berbadan hokum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang
bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syariah.Ekonomi syariah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
antara lain:bank syari‘ah,lembaga keuangan mikro syariah,asuransi syariah,
reasuransi syariah, reksa dana syariah,obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah,sekuritas syariah, pembiayaan syariah,pegadaian
syariah,dana pension lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
Penegasan adanya prinsip syariah
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan salah satu yang
membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Perbedaan lain
yang menonjol adalah mengenai penyelesaian sengketa. Dalam perjalanan
sejarah penyelesaian sengketa bank syariah, setidaknya ada tiga lembaga yang
mempunyai kompetensi untuk menanganinya yaitu arbitrase, peradilan umum
dan peradilan agama. Dua lembaga terakhir merupakan lembaga
peradilan yang seringkali disebut dengan litigasi, sedangkan satu lembaga
lain adalah proses di luar pengadilan (non litigasi).Dalam ajaran Islam
terdapat tiga institusi (=sistem penyelesaian sengketa atau perselisihan) yang
disediakan dalam rangka penyelesaian sengketa/perselisihan: damai (al-shulh),
arbitrase (altahkim),dan peradilan (al-qadha).Dengan merujuk pada QS al-Nisa
(4): 128 dan QS al-Hujarat
(49): 9, Islam mengajarkan agar pihak-pihak yang bersengketa (berselisih) melakukan perdamaian. Perdamaian dilakukan dengan cara musyawarah dan negosiasi oleh pihak-pihak yang bersengketa (langsung atau tidak langsung) untuk menyelesaikan perselisihan di
antara mereka. Dari segi sosial (keterjagaan nama baik) dan efesiensiekonomi, penyelesaian perselisihan melalui institusi ini dianggap palingbaik. Oleh karena itu, dalam QS al-Nisa: 128 secara implisit ditetapkan bahwa damai adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah (wa
al-shulh khair); di samping itu, dalam fikih juga terdapat kaidah yang menyatakan bahwa shluh adalah instrumen penyelesaian hukum yang utama (al-shulh sayyid al-ahkam).
(49): 9, Islam mengajarkan agar pihak-pihak yang bersengketa (berselisih) melakukan perdamaian. Perdamaian dilakukan dengan cara musyawarah dan negosiasi oleh pihak-pihak yang bersengketa (langsung atau tidak langsung) untuk menyelesaikan perselisihan di
antara mereka. Dari segi sosial (keterjagaan nama baik) dan efesiensiekonomi, penyelesaian perselisihan melalui institusi ini dianggap palingbaik. Oleh karena itu, dalam QS al-Nisa: 128 secara implisit ditetapkan bahwa damai adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah (wa
al-shulh khair); di samping itu, dalam fikih juga terdapat kaidah yang menyatakan bahwa shluh adalah instrumen penyelesaian hukum yang utama (al-shulh sayyid al-ahkam).
Pasal 55 UU Perbankan Syariah
sebagai undang-undang menentukan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun
demikian UU perbankan syariah secara eksepsional memberikan kewenangan
lain melalui perjanjian, dimana sengketa perbankan syariah dapat
ditangani dengan musyawarah, mediasi perbankan, badan arbitrase Syariah
Nasional atau lembaga arbitrase lain serta melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.
Perkembangan lembaga-lembaga
keuangan syariah tumbuh pesat di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi
syariah, pasar modal dengan instrumennya obligasi dan reksadana syariah,
pegadaian syariah, dana pensiun syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
dll.Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi
syariah, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi
syariah.Jika terjadi perselisihan antara para pihak, selama ini kasusnya selama
ini diselesaikan di Pengadilan Umum, atau Badan Arbitrase Syariah, bukan
Pengadilan Agama. Artinya, sebelum keluarnya UU No 3/2006, tentang Peradilan
Agama perkara- perkara yang menyangkut peralihan harta atau kebendaan dan
perjanjian yang bersifat bisnis masih menjadi kewenangan Pengadilan Negeri,
dikarenakan kewenangan Pengadilan Agama masih sangat terbatas. Pasal 49, UU No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama hanya menentukan bidang-bidang tertentu
saja yang menjadi kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan Agama, yaitu
bidang: Perkawinan,
Kewarisan (yang meliputi juga wasiat dan hibah) dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU Nomor 7/1989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan Undang-Undang yang baru yakni UU No 3/2006. Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu lakukan amandemen.Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Kewarisan (yang meliputi juga wasiat dan hibah) dan Wakaf dan Shadaqah. Karena itulah UU Nomor 7/1989 diamandemen pemerintah dan DPR dengan Undang-Undang yang baru yakni UU No 3/2006. Dalam pertimbangan amandemen Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, karena itu perlu lakukan amandemen.Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Amandemen ini membawa implikasi baru
dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untukmenangani
perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan
diPengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah. Pengadilan
Negeri bisa disebut sebagai Pengadilan konvensional. Maka sangat aneh, jika
masalah syariah diselesaikan secara konvensional, bukan secara syariah. Dalam
prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis
di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata
yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undang-Undang
hokum sipil Belanda yang dikonkordansi
keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini, sehingga konsep perikatan dalam Hukum
Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek
formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW.Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam
di bidang perikatan (transaksi) ini telah
lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di
tanah jajahannya, Hindia Belanda.
Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya,
sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke
tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah
diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa
pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali
dilakukan.Amandemen ini memang dirasakan sangat
penting, mengingat perkembangan lembaga keuangan syari’ah bergerak cepat,
seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah,
pasar modal syari’ah, lembaga keuangan mikro
syariah (BMT), pergadaian syari’ah, dsb. Selama ini, banyak kasus sengketa
ditangani oleh Basan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas), sesuai dengan akad di lembaga
keuangan syariah. Nasabah dan lembaga perbankan harus memilih lembaga Basyarnas untuk menyelesaikannya
sesuai akadnya. Setiap draft kontrak syariah telahmemuat klausul Basyarnas.
Keharusan ke Basyarnas karena belum dikeluarkannya UUNo3/2007. Tetapi setelah
keluarnya Undang-Undang tersebut, harus dibuka peluang seluas-luasnya kepada Pengadilan Agama untuk
mengadilinya, sehingga tidak menjadi monopoli
Basyarnas.
Dengan keluarnya UU
No 3/2006, kasus sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan
di Pengadilan Agama, kecuali para pihak sepakat diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Satu hal lagi yang menjadi
catatan penting adalah masalah eksekusi.
Selama ini eksekusi keputusan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri,
bukan Pengadilan Agama (Syariah). Pengertian akad juga dapat ditemukan dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran
Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa akad adalah perjanjian tertulis yang memuat
ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara Bank dengan pihak lain yang
berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
Sedangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah Pasal 1 ayat 13 menyebutkan
akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dan
pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai
dengan prinsip syariah.Penyelesaian sengketa dalam ekonomi syariah merupakan
hal yang sangat menarik untuk di kaji oleh karena itu maka kami membuat judul” Penyelesaian
sengketa ekonomi syariah di Indonesia”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang tersebut diatas supaya pembahasan menarik tetapi tetap pada
topik bahasan maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana
penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Pengadilan Agama?.
2. Bagaimana
penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Pengadilan Negeri /Umum?.
3. Bagaiamana
penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Non Litigasi
BAB II.PEMBAHASAN
Pada prinsipnya penegakan hukum
hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial Power) yang secara
konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan
demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan
peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah
Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang
berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang
dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak dibenarkan karena tidak
memenuhi syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under
the authority of law. Namun berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt,
Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terbuka kemungkinan para
pihak menyelesaikan sengketa dengan menggunakan lembaga selain pengadilan (non
litigasi), seperti arbitrase atau perdamaian (islah).
Sumber Hukum Ekonomi Syariah:
1. Sumber Hukum Acara :
a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
b. HIR untuk wilayah jawa dan Madura
c. RBG untuk wilayah luar jawa dan
Madura
d. BW dalam Buku IV tentang pembuktian
pasal 1865-pasal 1993
e. WvK dalam staablat 1847 no 23
2. Sumber Hukum Materiil Ekonomi
Syariah:
a. Nash Al Quran
b. Nash Al Hadist
c. Peraturan Perundang-undangan
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional
e. Akad perjanjaian ( Kontrak )
f. Adat Kebiasaan
g. Yurisprudensi.
A.Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Pengadilan
Agama
Dalam era reformasi hingga saat ini,
telah terjadi tiga kali perubahan terhadap Pasal-pasal dalam UUD 45.
Salah satu perubahannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada di bawahnya, dalam lingkungan Peradilan Umum, Agama,
Militer, Tata Usaha Negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal ini sangat
jelas mengamanatkan untuk menyatukan semua lembaga peradilan di bawah satu atap
di Mahkamah Agung. Perubahan UUD 45 mengharuskan adanya perombakan dan
perubahan terhadap Kekuasaan Kehakiman untuk disesuaikan dengan UUD 45.
Perubahan tersebut dimulai dengan diubahnya UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 3 dengan UU No. 35 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diganti dengan UU No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 13 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa organisasi, administrasi dan
finansial badan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan
peradilan di lingkungan masing-masing. Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut
dikatakan, susunan, kekuasaan dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur
dengan UU tersendiri. Sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (1) UU No. 4 tersebut,
dibentuklah UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan UU No. 9 Tahun 2004
Tentang Peradilan TUN dan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta UU Peradilan Militer.
Perluasan Tugas dan Wewenang
Pengadilan Agama Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata
tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal
2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian
keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang
beragama Islam. Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3
tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena
berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama
bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam
pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini ”.
Dalam penjelasan Pasal tersebut
antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama
Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini. Dari penjelasan
Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan
syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah dengan
sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan
akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun sengketa di bidang ekonomi
syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
a. Sengketa di bidang ekonomi
syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan
nasabahnya;
b. Sengketa di bidang ekonomi
syariah antara sesama lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
c. Sengketa di bidang ekonomi
syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya
disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan
prinsip-prinsip syariah Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di
atas,
Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga
mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh
karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah
(ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di
Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam”Dalam definisi
pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan
pelaksanaannya.
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam
melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, dan
c. Wakaf dan shadaqoh
Masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum
Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga
ekonomi syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini
tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam
pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi
syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang
lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang
Pengadilan Agama Yaitu :
1. Memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Shadaqah
h. Infaq, dan
i. Ekonomi syari’ah
Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan ekonomi syari’ah adalah :
a. Bank syari’ah
b. Asuransi syari’ah
c. Reasuransi syari’ah
d. Reksadana syari’ah
e. Obligasi syari’ah dan surat
berharga berjangka menengah syari’ah
f. Sekuritas syari’ah
g. Pembiayaan syari’ah
h. Pegadaian syari’ah
i. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
j. Bisnis syari’ah, dan
k. Lembaga keuangan mikro syari’ah
2. Diberikan tugas dan wewenag
penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan
lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih
dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya
pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah
menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau
sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya
mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara
orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh
Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk
menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa
karena alasan aadanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang
sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di
Peradilan Agama
Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama menjadi UU No.3 Tahun 2006 dapat dimakanai sebagai
politik hkum ekonomi syariah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan
Agama.Dalam hal ini Peradilan agama memiliki kewenagan untuk menyelesikan
sengketa ekonomi syariah secara ligitasi atau peradilan formal.Amandemen
tidak hanya memperluas kewenagan ,tetapi juga memberikan ruang lingkup yang
jelas tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja
,tetapi meliputi lembaga keuangan mikro syariah,asuransi syariah,reasuransi
syariah,reksadana syariah,obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah menengah syariah,sekuritas syariah,pembiayaan syariah,pegadaian
syariah,dana pensiun lembaga keuangan syariah.
Dengan di syahkannya Kompilasi Hukum
ekonomi syariah dengan Peraturan Mahkamah Agung ( PERMA ) No.2 Tahun 2008
dan di Undangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah pada
tanggal 16 juli 2008 mendapat perhatian dari masyarakat pencari keadilan berkaitan
dari persoalan ekonomi syariah yang di cantumkan dalam undang-undang No.21
Tahun 2008 tentang perbankan syariah adalah berkenaan dengan penyelesaian
sengketa Perbankan syariah.Pasal 55 UU No.21 tahun 2008 menyatakan :
1. Penyelesaian sengketa perbankan
syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
2. Dalam hal para pihak telah
memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1
),penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 2 ) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Ketentuan pasal 55 ayat ( 1 )
tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal 49 huruf I Undang-undang No.3
tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan Pengadilan agama adalah menyelesaikan
sengketa ekonomi termasuk perbankan syariah.Penjelasan pasal 55 ayat ( 2 )
menyatakan : yang di maksud dengan “Penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai isi akad ‘adanya upaya sebagai berikut :
a.
Musyawarah
b. Mediasi
c.
Melalui Badan Arbitrase syariah
Nasional ( Basyarnas ) atau Lembaga arbitrase lain; dan /atau
d. Melalui Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan umum.
Tahap-tahap pemeriksaan dalam
persidangan
Tingkat Pertama
1. Gugatan/Permohonan
2. Jawaban/Rekonpensi
3. Replik/jawaban Rekonpensi
4. Duplik/Replik Rekonpensi
5. Duplik Rekonpensi
6. Pembuktian
7. Kesimpulan
8. Putusan
9. Eksekusi (jika tidak ada upaya
hokum banding dari yang dikalahkan).
Tingkat kedua (Banding)
1. Memori Banding yang dibuat
Pembanding/kuasanya
2. Kontra Memori Banding yang dibuat
Terbanding/kuasanya
3. Eksekusi (jika tidak ada upaya
hokum Kasasi dari yang
dikalahkan)
Tingkat Kasasi
1. Memori Kasasi yang dibuat Pemohon
Kasasi/kuasanya
2. Kontra Memori Kasasi yang dibuat
Termohon
Kasasi/kuasanya.
4. Eksekusi dan PK tidak menunda
pelaksanaan eksekusi.
B. Penyelesaian
sengketa Ekonomi syariah Melalui pengadialan negeri /umum
Kewenangan mengadili atau kompetensi
yurisdiksi pengadilan adalah untuk menentukan pengadilan mana yang
berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara, sehingga pengajuan perkara
tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan
tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat
formil sahnya gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan
yang tidak berwenang mengadilinya menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap
salah alamat dan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan
absolut atau kewenangan relatif pengadilan.
Kewenangan Absolut
Pengadilan
Kewenangan absolut
pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu untuk memeriksa
dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan diperiksa dan
diputus. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman (judicial
power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) merupakan penyelenggara
kekuasaan negara di bidang yudikatif yang dilakukan oleh lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Menurut Yahya Harahap, pembagian ligkungan peradilan
tersebut merupakan landasan sistem peradilan negara (state court system)
di Indonesia yang terpisah berdasarkan yurisdiksi (separation court system
based on jurisdiction). Berdasarkan penjelasan Undang-undang No. 14 Tahun
1970, pembagian itu berdasarkan pada lingkungan kewenangan yang dimiliki
masing-masing berdasarkan diversity jurisdiction, kewenangan
tersebut memberikan kewenangan absolut pada masing-masing lingkungan peradilan
sesuai dengan subject matter of jurisdiction, sehingga
masing-masing lingkungan berwenang mengadili sebatas kasus yang
dilimpahkan undang-undang kepadanya. Lingkungan kewenangan mengadili itu
meliputi:
a.
Peradilan Umum
berdasarkan UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, memeriksa dan memutus
perkara dalam hukum Pidana (umum dan khusus) dan Perdata (umum dan niaga).
b.
Peradilan Agama
berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, memeriksa dan memutus
perkara perkawinan, kewarisan, wakaf dan shadaqah.
c.
Peradilan Tata Usaha
Negera berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
memeriksa dan memutusa sengketa Tata Usaha Negara.
d.
Peradilan Militer yang
berwenang memeriksa dan memutus perkara perkara pidana yang terdakwanya anggota
TNI dengan pangkat tertentu.
Kewenangan Relatif
Pengadilan
Kewenangan relatif
pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu berdasarkan
yurisdiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan Negeri
wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara?”. Dalam hukum acara
perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili suatu perkara
perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Mengajukan gugatan
pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan.
Persoalannya adalah,
bagaimana jika seorang tergugat memiliki beberapa tempat tinggal yang jelas dan
resmi. Dalam hal ini, penggugat dapat mengajukan gugatan ke salah satu PN
tempat tinggal tergugat tersebut. Misalnya, seorang tergugat dalam KTP-nya
tercatat tinggal di Tangerang dan memiliki ruko di sana, sementara faktanya ia
juga tinggal di Bandung. Dalam hal demikian, gugatan dapat diajukan baik pada
PN di wilayah hukum Tangerang maupun Bandung. Dengan demikian, titik pangkal
menentukan PN mana yang berwenang mengadili perkara adalah tempat tinggal
tergugat dan bukannya tempat kejadian perkara (locus delicti) seperti
dalam hukum acara pidana.
Dalam hal suatu
perkara memiliki beberapa orang tergugat, dan setiap tergugat tidak tinggal
dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke PN yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat. Kepada
penggugat diberikan hak opsi, asalkan tergugat terdiri dari beberapa orang dan
masing-masing tinggal di daerah hukum PN yang berbeda.
Jika tergugat terdiri
lebih dari satu orang, dimana tergugat yang satu berkedudukan sebagai debitur
pokok (debitur principal) sedangkan tergugat lain sebagai penjamin (guarantor),
maka kewenang relatif PN yang mengadili perkara tersebut jatuh pada PN yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal debitur pokok tersebut.Opsi
lainnya adalah gugatan diajukan kepada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak
diketahui. Agar tidak dapat dimanipulasi oleh penggugat, tidak diketahuinya
tempat tinggal tergugat itu perlu mendapat surat keterangan dari pejabat yang
bersangkutan yang menyatakan bahwa tempat tinggal tergugat tidak diketahui.
Misalnya, surat keterangan dari kepala desa.
Jika obyek gugatan
mengenai benda tidak bergerak (benda tetap), misalnya tanah, maka gugatan
diajukan kepada PN yang daerah hukumnya meliputi benda tidak bergerak itu
berada. Jika keberadaan benda tidak bergerak itu meliputi beberapa wilayah
hukum, maka gugatan diajukan ke salah satu PN atas pilihan penggugat. Namun
jika perkara itu merupakan perkara tuntutan ganti rugi berdasarkan Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) pasal 1365 KUHPerdata yang sumbernya berasal dari obyek
benda tidak bergerak, maka tetap berlaku asasactor sequtur forum rei (benda
tidak bergerak itu merupakan “sumber perkara” dan bukan “obyek perkara”).
Misalnya, tuntutan ganti rugi atas pembaran lahan perkebunan.
Dalam perjanjian,
terkadang para pihak menentukan suatu PN tertentu yang berkompetensi memeriksa
dan mengadili perkara mereka. Hal ini, berdasarkan asas kebebasan berkontrak,
bisa saja dimasukan sebagai klausul perjanjian, namun jika terjadi sengketa,
penggugat memiliki kebebasan untuk memilih, apakah PN berdasarkan klausul yang
ditunjuk dalam perjanjian itu atau berdasarkan asas actor sequtur forum
rei. Jadi, domisili pilihan dalam suatu perjanjian tidak secara mutlak
menyingkirkan asas actor sequitur forum rei, dan tergugat tidak
dapat melakukan eksepsti terhadap tindakan tersebut.
C.Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah melalui ARBITRASE
1. Badan
Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )
Dalam suatu hubungan
bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa
yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan
klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal
lainnya.Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu
melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase.Pengertian arbitrase
termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif
penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999:“Lembaga Arbitrase adalah badan
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”Dalam
Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa:”Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak
yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.”
Dengan demikian
arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum
keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan.
Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna
menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan merekaLembaga Peradilan diharuskan menghormati lembaga
arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UU No.30 tahun 1999
yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak ikut campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase.
Biasanya dalam kontrak bisnis sudah
disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi di kemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian sengketa dapat
diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang
langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga yang melalui lembaga di luar
Pengadilan yaitu arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping
itu, dalam klausul yang dibuat oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang
disepakati untuk dipergunakan apabila di kemudian hari terjadi sengketa di
antara mereka (choice of law). Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam
penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Adapun ketentuan-ketentuan
mengenai syarat-syarat obyektif yang dipahami dalam pasal 1320 KUH Perdata,
maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang tersebut dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu merupakan
kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi
bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut. Di
Indonesia terdapat beberapa lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai
sengketa bisnis yang terjadi dalam lalu lintas perdagangan, antara
lain BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang khusus menangani masalah
persengketaan dalam bisnis Islam, BASYARNAS (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional)
yang menangani masalah-masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Bank Syari’ah,
dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang khusus menyelesaikan
sengketa bisnis non Islam.
Sebagian besar di negara-negara
barat telah memiliki lembaga arbitrase dalam menyelesaikan berbagai sengketa
ekonomi yang timbul akibat wanprestasi terhadap kontrak-kontrak yang
dilaksanakannya. Dalam kaitan ini, Indonesia yang merupakan bagian dari
masyarakat dunia juga telah memiliki lembaga arbitrase dengan nama Badan
Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat dengan BANI. Keberadaan BANI ini
diprakarsai oleh kalangan bisnis nasional yang tergabung dalam Kamar Dagang dan
Industri (KADIN) yang didirikan pada tanggal 3 Desember 1977. Adapun
tujuan didirikannya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan
penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang
timbul dan berkaitan dengan perdagangan dan keuangan, baik yang bersifat
nasional maupun yang bersifat internasional. Di samping itu, keberadaan BANI di
samping berfungsi menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan
yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan
suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Oleh
karena BANI dibentuk untuk kepentingan masyarakat Indonesia, maka BANI
harus tunduk kepada hukum Indonesia. Selama ini praktek arbitrase banyak diatur
dalam HIR, khususnya pasal 377 HIR yang menyebutkan bahwa arbitrase
dibenarkan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak dengan
tetap berpedoman sebagaimana tersebut dalam buku ketiga Rv, dengan hal ini
dapat diketahui bahwa secara yuridis formal hanya Rv yang diakui sebagai hukum
positif arbitrase, dan tertutup kemungkinan untuk memilih dan mempergunakan
institusi atau peraturan yang terdapat dalam Rv. Namun keberadaan BANI telah menerobos
sifat tertutup Rv tersebut dengan memberlakukan beberapa peraturan lain,
diantaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang meratifikasi ICSID dan KEPRES
Nomor 34 Tahun 1981 yang meratifikasi New York Convention 1059, sehingga
ketentuan yang menentukan Rv sebagai satu-satunya aturan hukum yang mengatur
arbitrase sudah dipakai lagi. Dengan demikian sejak berdirinya BANI dibolehkan
mendirikan institusi arbitrase permanent yang dilengkapi oleh
aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah dan DPR atau hak opsi mempergunakan
aturan Rv atau aturan lainnya. Sebagaimana yang terdapat dalam ADR yang lain,
tujuan didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah memberikan
penyelesaian yang adil dan tepat dalam sengketa-sengketa perdata yang berkaitan
dengan perdagangan, industri dan keuangan baik yang bersifat nasional
maupun internasional. Selain dari itu, keberadaan BANI di samping
menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang diajukan oleh
para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat (legal
opinion) yang mengikat mengenai suatu persoalan. Meskipun ada perbedaan yang
cukup signifikan dengan tugas-tugas pengadilan, tetapi proses ajudikasi
BANI tetap berpedoman kepada peraturan prosedur secara khusus. Secara garis
besar prosedur pelaksanaan arbitrase melalui BANI sebagai berikut ini, yakni :
1) Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya
surat permohonan untuk mengadakan arbitrase dan didaftar dalam register perkara
masuk.
2) Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang mengatakan
bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, maka klausula
tersebut dianggap telah mencukupi. Dengan hal tersebut Ketua BANI segera
mengeluarkan perintah untuk menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada
si termohon, disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan
memberi jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari.
3) Majelis arbitrase yang dibentuk atau arbiter tunggal yang
ditunjuk menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, akan memeriksa sengketa antara
para pihak atas nama BANI dan menyelesaikan serta memutus sengketa.
4) Bersamaan dengan itu, Ketua BANI memerintahkan kepada
kedua belah pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang
ditetapkan selambat-lambatnya 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya
perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada seorang
kuasa dengan surat kuasa khusus.
5) Terlebih dahulu majelis akan mengusahakan tercapainya
perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa.
6) Kedua belah pihak dipersilahkan untuk menjelaskan
masing-masing pendirian serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap
perlu untuk menguatkannya.
7) Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut
permohonannya.
8) Apabila majelis arbitrase menganggap pemeriksaan sudah
cukup, maka ketua majelis akan menutup dan menghentikan pemeriksaan dan
menetapkan hari sidang selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.
9) Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan
arbitrase ditetapkan dengan peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negeri
yang bersengketa. Meskipun sudah ada putusan arbitrase yang telah diputus oleh
BANI, kebanyakan para pihak tidak puas terhadap putusan tersebut. Hal ini dapat
diketahui bahwa sebagian besar perkara yang telah diputus oleh arbiter
BANI masih tetap diajukan kepada Pengadilan secara litigasi.
2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Perkembangan bisnis umat Islam
berdasar syari’ah semakin menunjukkan kemajuannya, maka kebutuhan akan lembaga
yang dapat menyelesaikan persengketaan yang terjadi atau mungkin terjadi
dengan perdamaian dan prosesnya secara cepat merupakan suatu kebutuhan
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memprakarsai berdirinya BAMUI dan mulai dioperasionalkan pada tanggal 1 Oktober
1993. Adapun tujuan dibentuk BAMUI adalah pertama : memberikan penyelesaian
yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa muamalah perdata yang timbul dalam
bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, kedua : menerima
permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tanpa adanya
suatu sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai
suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Syarat utama untuk
menjadi arbiter tunggal atau arbiter majelis diantaranya adalah beragama Islam
yang taat menjalankan agamanya dan tidak terkena larangan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya arbiter
harus mengupayakan perdamaian semaksimal mungkin dan apabila usaha ini
berhasil, maka arbiter membuat akta perdamaian dan menghukum kedua belah pihak
untuk mentaati dan memenuhi perdamaian tersebut. Jika perdamaian tidak
berhasil, maka arbiter akan meneruskan pemeriksaannya, dengan cara para
pihak membuktikan dalil-dalil gugatannya, mengajukan saksi-saksi atau mendengar
pendapat para ahli dan sebelum mengajukan keterangannya ia harus disumpah
terlebih dahulu. Azas pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup dan azas
ini tidak bersifat mutlak atau permanen, akan tetapi dapat dikesampingkan jika
atas persetujuan kedua belah pihak setuju sidang dilaksanakan terbuka untuk
umum. Kepentingan pemeriksaan secara tertutup ini adalah menghindari publisitas
demi menjaga nama baik perusahaan atau bisnis masing-masing para pihak.
Putusan BAMUI bersifat final dan
mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan wajib mentaati keputusan
tersebut, para pihak harus segera mentaati dan memenuhi pelaksanaannya. Apabila
ada para pihak yang tidak melaksanakan itu secara suka rela, maka putusan itu
dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 637 dan 639 Rv, yakni
Pengadilan Negeri memiliki peranan yang penting dalam memberikan exequatur bagi
putusan arbitrase. Oleh karena itu, BAMUI harus menyesuaikan diri dengan tata
hukum yang ada, khususnya jangkauan kewenangannya, karena sengketa yang diputus
oleh BAMUI itu bukanlah perkara yang didalamnya termuat campur tangan
pemerintah atau bukan masalah-masalah yang berhubungan dengan Wakaf dan Hibah
sebagaimana tersebut dalam 616 Rv, yang pada perkara ini ada Pengadilan yang
mengurusnya. Mengingat bahwa tidak semua masalah dapat dieksekusi oleh
Pengadilan, maka BAMUI membatasi kewenangannya hanya pada penyelesaian sengketa
yang timbul dalam hubungannya dengan perdagangan, industri, keuangan dan jasa
yang dikelola secara Islami. Supaya putusan arbitrase BAMUI ini dapat diterima
dengan baik oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka arbiter harus dapat
menjatuhkan putusan yang adil dan tepat bagi pihak yang bersengketa.
3.Badan Arbitrase Syariah Nasional ( BASYARNAS )
Badan Arbitrase syariah Nasional (
BASYARANAS ) sesuai dengan pedoman dasar yang di tetapkan oleh MUI adalah
lembaga Hakam yang bebas otonom dan independent tidak boleh di campuri kekuasaan
oleh pihak-pihak manapun.BASYARNAS adalah perangkat organisasi MUI sebagaimana
DSN ( Dewan Syariah Nasional ),LPPO ( Lembaga Pengkajian pengawasan Obat-obatan
dan makanan ),YDDP ( Yayasan Dana Dakwah Pembangunan).
Adapun dasar hukum pembentukan lembaga BASYARNAS sebagaiberikut :
1.UndangUndang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase danAlternatif
Penyelesaian Sengketa. Arbitrase menurut Undang-UndangNo, 30 Tahun 1999 adalah
cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum, sedangkan lembaga arbitrase adalah badan yangdipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusanmengenai sengketa tertentu.
2.SK MUI (Majelis Ulama Indonesia) SK. Dewan
Pimpinan MUI No.Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 tentang BadanArbitrase Syariah Nasional. Badan Arbitrase Syariah Nasional(BASYARNAS) adalah lembaga hakam (arbitrase
syariah) satu-satunyadi Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketamuamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan,industri,
jasa dan lain-lain.
3.Fatwa DSNMUI Semua fatwa Dewan Syariah Nasional MajelisUlama Indonesia (DSNMUI) perihal hubungan muamalah ( perdata)senantiasadiakhiri dengan ketentuan : "Jika
salah satu pihak tidakmenunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantarakeduabelah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui BadanArbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melaluimusyawarah".Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) mempunyai peraturanprosedur yang
memuat ketentuan-ketentuan antara lain : permohonan untukmengadakan
arbitrase, penetapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian,pembuktian dan saksisaksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilanputusan, perbaikan putusan, pembatalan putusan, pendaftaran putusan,pelaksanaan
putusan (eksekusi),
III. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, sampailah pada beberapa
kesimpulan sesbagai berikut :
1. Penyelesaian sengketa Ekonomi
syariah seharusnya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama.Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan
akad.Penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah tidak boleh bertentangan
dengan prinsip syariah.
2. Penyelesaian Sengketa Ekonomi
syariah yang dilakukan di Pengadilan Negeri dalam hal sengketa Ekonomi
syariah hendaknya hanya merupakan hal-hal yang bersifat darurat apabila
penyelesaian sengketa tidak bisa dilakukan dengan prinsip syariah.
3.
Lembaga Arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum
timbul sengketa Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.Dengan adanya arbitrase yang berprinsip syariah
merupakan pilihan tepat dalam penyelesaian sengketa dalam Ekonomi syariah.
BAB.IV DAFTAR PUSTAKA
Suyud Margono,ADR dan
Arbitrase,Proses Pelembagaan dan aspek Hukum ,Ghlia Indonesia ,Jakarta,2000
Mughits,Abdul ,Kompilasi hokum
syariah dalam al-Mawarid,edisi,XVIII,2008
Ramdhon Naning,Penyelesaian
Sengketa dalam Islam ( Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional dan kewenangan
Pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa Ekonomi syariah ,dalam
Journal Varia advokat,VI,2008
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
SYARIAH DI INDONESIA
S A L A M
NIM.201114700040030
PRODI MUAMALAH STAIHA BAWEAN