Sistem Lembaga Keuangan Syariah
Perbankan Syariah
(Pengertian, Prinsip, Sejarah, Perbedaan dengan
Bank Konvensional, Struktur Organisasai dan Peraturan Hukum)
Oleh. SaLam
SyaMsi
NIM.201114700040030
14 Maret 2014
1. Pengertian
Pengertian bank sebagaimana tercantum dalam
undang-undang republik Indonesia No. 21 tahun 2008 pasal 1 ayat kedua bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit
dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan
pengertian bank syariah (pasal 1 ayat 7) adalah bank yang menjalankan kegiatan
usahanya brdasaarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank
umum syariah dan bank pembiayaan syariah.
Menurut Muhammad, bank Syariah adalah bank yang
aktivitasnya meninggalkan masalah riba atau bank yang beroperasi dengan tidak
mengandalkan pada bunga. Berbeda dengan bank Islam, bank Syariah adalah lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip syariat Islam.
2. Prinsip
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana
dan/atau pembiayaan usaha atau kegiatan lainya yang sesuai dengan syariah.
beberapa prinship hukum yang dianut oleh bank
syariah antara lain :
1) Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang
berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak
diperbolehkan.
2) Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan
kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3) Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan
uang dari uang". Uang hanya media pertukaran dan bukan komoditas karena
tidak mempunyai nilai intrinsic.
4) Unsur Gharar ( ketidakastian, spekulasi ) tidak
diperkenankan. keduabelah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan
mereka peroleh dari sebuah transaksi
5) Investasi hanya boleh pada usaha-usaha yang
tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai
oleh perbankan syariah.
3. Sejarah
Perbankan Syariah
Pada awal tahun 1980, wacana pendirian Bank
Syariah sebagai pilar ekonomi mulai bergulir. Para tokoh yang aktif dalam kajian
tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin,
M. Amin Azis dan lain-lain. Uji coba sistem syariah pada sekala kecil dilakukan
dengan pendirian BMT (Bait al-mal wa at-tamwil), yaitu BMT Salman di ITB
Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.[2]
Langkah yang lebih strategis untuk mendirikan
Bank Syariah diprakarsai oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia melalui Lokakarya
Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor Jawa Barat pada tanggal 18-20
Agustus 1990. Hasil Lokakarya itu selanjutnya dibahas pada Musyawarah Nasional
IV MUI yang diadakan di Hotel Syahid Jakarta tanggal 22-25 Agsutus 1990. Munas
ini mengamanatkan dibentuknya kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di
Indonesia, yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan berbagai
pihak terkait.
Tindakan MUI semakin nyata, dengan membentuk
suatu Tim Steering Commite yang diketuai oleh Dr. Ir Amin Aziz, yang bertugas
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan berdirinya Bank Syariah di
Indonesia (Bank Muamalat Indonesia). Untuk kelancaran tugas Tim ini, dibentuk
pula Tim hukum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang diketuai Drs.
Karnaen Perwataatmadja, MPA. Dari sisi persiapan sumber daya
manusia,diselenggarakan training calon Staff Bank Muamalat Indonesia (BMI) di
LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia) pada tanggal 29 Maret 1991 yang
dibuka oleh Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura. [3]
Untuk menghimpun dana, Tim MUI melobi
pengusaha-pengusaha Muslim untuk menjadi pemegang saham pendiri. Dalam waktu 1
tahun dapatlah terpenuhi berbagai persyaratan pendirian, sehingga pada tanggal
1 November 1991 dapat dilaksanakan penandatanganan Akte Pendirian BMI di Sahid
Jaya Hotel dengan akte notaries Yudo Paripurno, SH dengan izin menteri kehakiman
No. C. 2.2413.HT.01.01. Komitmen pembelian saham Rp 106.126.382.000,- sebagai
modal awal pendirian BMI diperoleh pada acara silaturrahmi Presiden di Istana
Bogor tanggal 3 November 1991. [4]
Izin Prinsip Pendirian BMI diperoleh dari
Menteri Keuangan RI No. 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991 dan disusul
dengan izin usaha berdasarkan keputusan menteri keuangan RI No.
430/KMK.013/1992, tanggal 24 April 1992. Dan akhirnya pada tanggal 1 Mei 1992,
BMI secara resmi memulai operasionalnya. Dengan mulai beroperasinya Bank
Syariah pertama ini, maka dimulailah genderang perjuangan mewujudkan Das Sollen
(yang seharusnya) menjadi Das Sein (Kenyataan) dalam muamalah ekonomi Islam di
Indonesia.
4. Perbedaan
Bank Syariah VS Bank Konvensional
Perbedaan yang mendasar antara bank syariah
dengan bank konvensional, antara lain :
1) Perbedaan
Falsafah
Perbedaan pokok
antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah
yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh
aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang
menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan
oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang
dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk
bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu
bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba
secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest dalam
semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak
seperti efek bola salju pada cerita di awal artikel ini. Sangat menguntungkan
saya tapi berakibat fatal untuk banknya. Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan
keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke
dua-duanya.
2) Konsep
Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem
bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara
titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional
dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti
kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya,
akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah
membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan
pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka
bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah
tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang
menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari
usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian,
maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun
risiko.
Sesuai dengan
fungsi bank sebagai intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah
penyimpan kepada nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara
titipan atau investasi tadi kemudian, dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam
traksaksi perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Hasil keuntungan
dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah
yang akan dibagikan kepada nasabah. Hasil usaha semakin tingi maka semakin
besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada dan nasabahnya. Namun jika
keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank
kepada nasabahnya. Jadi konsep bagi hasil hanya bisa berjalan jika dana nasabah
di bank di investasikan terlebih dahulu kedalam usaha, barulah keuntungan
usahanya dibagikan. Berbeda dengan simpanan nasabah di bank konvensional, tidak
peduli apakah simpanan tersebut di salurkan ke dalam usaha atau tidak, bank
tetap wajib membayar bunganya.
Dengan demikian
sistem bagi hasil membuat besar kecilnya keuntungan yang diterima nasabah
mengikuti besar kecilnya keuntungan bank syariah. Semakin besar keuntungan bank
syariah semakin besar pula keuntungan nasabahnya. Berbeda dengan bank
konvensional, keuntungan banknya tidak dibagikan kepada nasabahnya. Tidak
peduli berapapun jumlah keuntungan bank konvesional, nasabah hanya dibayar
sejumlah prosentase dari dana yang disimpannya saja.
3) Kewajiban
Mengelola Zakat
Bank syariah
diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat,
menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan
fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana
sosial (zakat. Infak, sedekah)
4) Struktur
Organisasi
Di dalam
struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah
(DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).
Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syariah, DSN
dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga
dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank
Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi.
5. Struktur
Organisasi
Struktur
organisasi tergantung pada besar-kecilnya bank (bank size), keragaman layanan
yang ditawarkan, keahlian personilnya dan peraturan-peraturan
perundangan-undangan yang berlaku. Tidak ada acuan baku bagi penyusunan
struktur organisasi bagi bank dalam segala situasi kebutuhan operasinya. Bank
mengorganisasikan fungsi-fungsinya untuk melayani nasabahnya atau menempatkan
karyawan yang ada atau karyawan baru sesuai dengan bakat dan kemampuannyanya.
Struktur organisasi setiap bank berikut tanggung jawab dan wewenang para
pejabatnya bervariasi satu sama lain. Oleh karena itu struktur organisasi
mencerminkan pandangan manajemen tentang cara yang paling efektive untuk
mengoperasikan bank.
Sejalan dengan
perkembangannya fungsi-sungsi tersebut dapat dibagi-bagi lagi dalam beberapa
kegiatan. Dalam perbankan syariah, fungsi pembiayaan dapat dibagi dalam
pembiayaan piutang (debt financing) berdasarkan prinsip jual-beli (murabahah,
salam atau istishna), atau sewa-beli (ijarah), pembiayaan modal (equity
financing) berdasarkan prinsip mudharabah (trustee financing) atau musyarakah
(jount venture profit sharing). Fungsi operasi dapat dibagi dalam tellers,
pembukaan rekening (opening new account), penerimaan simpanan (deposit),
pemrosesan simpanan (deposit) dan layanan yang berkaitan dengan simpanan
(deposit related services) seperti pemindah – bukuan, pengiriman uang (money
transfer), inkaso (collections), pembayaran tagihan (bill paying) dan lain,
komputer service dan akuntansi, personalia dan sundries.
6. Landasan
Hukum
Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya UU. No.
10 tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998 sebagai perubahan
dari UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah sebagai respon atas
kebutuhan landasan hukum yang lebih memadai bagi Bank Syariah yang pertama
berdiri (BMI), yang telah memulai operasinya di Indonesia sejak tanggal 1 Mei
1992.
Ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) didirikan,
landasan hukum bagi berdirinya Bank Syariah adalah UU. No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang diundangkan pada tanggal 25 Maret 1992. [5] Celah landasan hukum
yang digunakan adalah Pasal 1 ayat 12, yang menyinggung bahwa Bank dapat
memberikan pinjaman dengan dengan sistim bagi hasil. Selengkapnya UU. No. 7
Tahun 1992 pasal 1 ayat (12), berbunyi sbb:
Kredit adalah penyediaan Uang atau Tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan
atau pembagian hasil keuntungan.
Friedman, membedakan antara hukum Inggris
(Anglo-American Law / Common Law) dengan Roman Law. Bagi negara Indonesia yang
menganut Sistem Roman Law, maka kodifikasi hukum secara formal (positive) yang
menegaskan kedudukan Bank Syariah didalam tata hukum nasional adalah suatu
keniscayaan.[6] Sangat disyukuri bahwa ternyata tujuh bulan setelah diundangkannya
UU. No. 7 tentang perbankan, atau 6 bulan setelah beroperasinya BMI, landasan
operasional Bank Syariah lebih dipertegas dengan terbitnya peraturan
pelaksanaan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992, yaitu PP No. 72 tahun 1992
tanggal 30 Oktober 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil (pada
makalah ini selanjutnya disebut PP No. 72 tahun 1992). Pasal 1 ayat (1) PP ini
menyebutkan bahwa:
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank
umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan usaka semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil.
0 komentar:
Posting Komentar
Publikasikan Komentar anda...!