Lubang Bekas Cabutan Paku
SUATU
ketika ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Ayahnya
berusaha keras untuk membuang sifat buruk anaknya. Suatu hari ia
memanggil anaknya dan memberinya sekantong paku. Paku? Ya, paku!
Sang anak heran.
Tapi, bibir ayahnya justru membentuk senyum bijak. Dengan suaranya yang
lembut, ia berkata kepada anaknya agar memakukan sebuah paku di pagar
belakang rumah setiap kali marah. Ajaib!
Di hari pertama, sang
anak menancapkan 48 paku! Begitu juga di hari kedua, ketiga, dan
beberapa hari selanjutnya. Tapi, tak berlangsung lama. Setelah itu
jumlah paku yang tertancap berkurang secara bertahap. Ia menemukan fakta
bahwa lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan begitu banyak
paku ke pagar.
Akhirnya, kesadaran itu membuahkan hasil. Si
anak telah bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan
kesabaran. Ia bergegas memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Sang ayah
tersenyum. Kemudian meminta si anak agar mencabut satu paku untuk setiap
hari di mana dia tidak marah.
Hari-hari berlalu dan anak
laki-laki itu akhirnya berhasil mencabut semua paku yang pernah
ditancapkannya. Ia bergegas melaporkan kabar gembira itu kepada ayahnya.
Sang ayah bangkit dari duduknya dan menuntun si anak melihat pagar di
belakang rumah itu.
“Hmm, kamu telah berhasil dengan baik
anakku. Tapi, lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan
pernah bisa sama seperti sebelumnya,” kata si ayah bijak.
Sang
ayah sengaja memotong kalimatnya pendek-pendek agar si anak bisa
mencerna maksudnya dengan baik. Si anak menatap ayahnya dengan sikap
menunggu apa kelanjutan ujaran ayahnya itu.
“Ketika kamu
melontarkan sesuatu dalam kemarahan, kata-katamu itu meninggalkan bekas
seperti lubang ini di hati orang lain. Kamu dapat menusukkan pisau
kepada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi, tidak peduli berapa
kali kamu akan meminta maaf, luka itu akan tetap ada. Dan, luka karena
kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik,” ucap sang ayah lembut
namun sarat.
Sang anak membalas tatapan lembut ayahnya dengan
mata berkaca-kaca. Pelajaran yang diberikan ayahnya begitu tajam
menghujam relung hatinya.
Teman, saling memaafkan mungkin bisa
mengobati banyak hal. Tapi, akan sirna maknanya saat kita mengulangi
kesalahan serupa. Padahal, lubang bekas cabutan paku yang sebelumnya
masih menganga. Jadi, berhati-hatilah, teman.
Semoga Allah melembutkan hati kita dan menghiasinya dengan sifat sabar tanpa tepi. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar
Publikasikan Komentar anda...!